Putih rambutnya menggambarkan usia yang semakin senja. Keriput wajahnya seakan menjadi saksi bisu perjalanan beribu musim yang memerankan warnanya masing-masing. Lelaki tua itu berdiri dibawah naungan pohon yang rimbun menyapu perlahan sekotak besar taman suropati dengan matanya yang nanar. Di beberapa sudut taman, ia hentikan sapuannya untuk sekedar memejamkan mata. Seakan ada jejak berlengan yang sedang memanggil-manggil nyanyian hatinya. Iapun tersenyum getir namun terasa damai.
Setelah hampir 15 menit bermain dengan kenangannya lelaki tua itupun duduk mengistirahakan kedua kaki yang letih. Namun jauh dalam mata hatinya terasa 1000 kali lebih letih. Letih karena rindu, Rindu yang takkan pernah terangkulkan. Rindu terhadap cucu semata wayangnya yang selalu menjadi biola bagi hati si lelaki tua. Di hari tuanya, cucu tercinta telah menjadi fajar bahkan disaat senja sekalipun. Selalu menerangi dan mengisi kekosongan dalam ruang hati. Penguat langkah yang kian melemas. Penegak bahu yang kian membungkuk.
Meremas jemari hati yang kian sepi, lelaki tua menyambar halus biola yang tergeletak disamping kanannya, persis 30 cm di samping kiri si empunya biola. “Izinkan saya memainkan biola ini sebentar saja, wahai musisi alam…” mohon si lelaki tua kepada si empunya. Si empunya diam membolehkan, dilihatnya biolapun sudah digenggam penuh hasrat oleh si lelaki tua.
Sebuah melodi indah nan syahdu keluar dari celah-celah dawai biola yang agung. Laksa sebuah persembahan, untuk sebuah taman yang pernah menjadi lukisan hidup yang ceria. Tentunya dengan canda tawa cucu tercinta. Lewat syair yang bisu, lewat permadani ilalang yang membumi, lewat kasih merpati yang suci, terkirim salam rindu untuk cucu tercinta yang telah dahulu dipanggil Tuhan. Taman inipun turut merindu…
Taman suropati, 22 Maret 2009
Wilda hurrya
Setelah hampir 15 menit bermain dengan kenangannya lelaki tua itupun duduk mengistirahakan kedua kaki yang letih. Namun jauh dalam mata hatinya terasa 1000 kali lebih letih. Letih karena rindu, Rindu yang takkan pernah terangkulkan. Rindu terhadap cucu semata wayangnya yang selalu menjadi biola bagi hati si lelaki tua. Di hari tuanya, cucu tercinta telah menjadi fajar bahkan disaat senja sekalipun. Selalu menerangi dan mengisi kekosongan dalam ruang hati. Penguat langkah yang kian melemas. Penegak bahu yang kian membungkuk.
Meremas jemari hati yang kian sepi, lelaki tua menyambar halus biola yang tergeletak disamping kanannya, persis 30 cm di samping kiri si empunya biola. “Izinkan saya memainkan biola ini sebentar saja, wahai musisi alam…” mohon si lelaki tua kepada si empunya. Si empunya diam membolehkan, dilihatnya biolapun sudah digenggam penuh hasrat oleh si lelaki tua.
Sebuah melodi indah nan syahdu keluar dari celah-celah dawai biola yang agung. Laksa sebuah persembahan, untuk sebuah taman yang pernah menjadi lukisan hidup yang ceria. Tentunya dengan canda tawa cucu tercinta. Lewat syair yang bisu, lewat permadani ilalang yang membumi, lewat kasih merpati yang suci, terkirim salam rindu untuk cucu tercinta yang telah dahulu dipanggil Tuhan. Taman inipun turut merindu…
Taman suropati, 22 Maret 2009
Wilda hurrya