Aku
terpental beberapa depa “Bumm… Bukk…”. Liontin itu seperti melemparku. Aku
yakin sekali dorongan kuat itu dari liontin yang aku genggam dan sekarang
tergeletak di lantai. Ya, di lantai, namun bukan lantai ruang kamarku. Lantai
ini kotor penuh debu. Buku-buku berserakan diatasnya juga tertutup debu.
Mataku
menyapu seluruh ruangan perlahan dan berhenti pada sudut ruangan dimana
terdapat Lemari tua dengan delapan daun pintu berukuran kurang lebih 40cm x
40cm. Beberapa pintu sudah terbuka, dua pintu masih tertutup rapat. Ruangan ini
suram, hanya mendapat sedikit cahaya dari celah-celah ventilasi kecil yang
diselimuti sarang laba-laba. Di tengah ruang ada tiang kayu penyanggah. Lampu
tua menjulang rendah, masih menyisakan cahaya 5 watt. Lemari tua, meja tua,
semua terlihat usang dan berdebu.
Aku
melangkah perlahan ke arah lemari berpintu delapan tadi. Mataku nanar menangkap
tulisan dalam aksara jawa di setiap pintu lemari tersebut. Semakin dekat,
semakin jelas. Beberapa huruf dapat aku pahami. Pelan-pelan aku mengeja,
terdapat sebuah nama “Anggabaya” yang berarti orang yang berkuasa. Aku telusuri
seluruh daun pintu, semua bernama. “Ararya”, “Aruna”, ”Balakosa”, “Balin”,
“Gandewa”, “Bhadra”, terakhir pada daun pintu paling atas aku mengeja
“A-thar-Wa”, aku mengerutkan dahi, namaku tertulis disana.
Aku
mencoba membuka pintu lemari yang tertulis namaku itu. Terkunci. Begitu juga
pintu yang tertulis “Bhadra” juga terkunci. Lainnya terbuka, aku hendak
menutupnya namun terasa berat, tidak dapat tertutup. Kali ini dengan sedikit
tenaga. “Bruukkk…” aku terkejut. Aku fikir pintu itu tertutup. Tetapi tidak,
masih terbuka, suara itu berasal dari luar. Hah, aku baru menyadari bahwa ada
pintu masuk. Seperti ada yang hendak masuk ke ruangan ini. Segera kusembunyikan
diri di sudut lain. Aku melihat liontinku yang tergeletak. Segera aku ambil,
sempat kulihat sebuah buku yang tergelak di lantai, kuraih juga.
Menyudut,
bersembunyi dibawah meja tua yang sudah rapuh. Belum sempat aku melihat siapa
yang masuk. Aku sudah berpindah tempat. Kembali berada di kamarku. Aku
terperangah. Diam dalam kebingungan yang meraja. Liontin dan buku tua itu masih
digenggamanku. Aku mulai mengikuti ritme kejadian aneh ini, sebuah misteri yang
sudah turun temurun ini harus diselesaikan.
Keenam
pintu yang terbuka itu adalah lorong waktu untuk setiap nama yang tertulis
disana. Tersisa dua pintu lagi, dua nama lagi segera menyusul. Salah satunya
adalah aku, Atharwa. Dari buku itu aku mengetahui bahwa “Ararya”, “Aruna”,
”Balakosa”, “Balin”, “Gandewa”, “Anggabaya” adalah pemegang liontin sebelumnya. Mereka tidak berhasil
melawan ujian kehidupan dan mereka tersesat. Mereka kesulitan mencari jalan
terang, semua jalan tertutup oleh nafsu, amarah, keserakahan, dan kesombongan.
399 kata
wilda hurrya | 071113 5:08 pm | ditengah kesibukan kerja:P
waaaah keren ceritanya!!! ini nanggung ya dibikin 400 kata. aku mau ini ada dialognya. kayaknya lebih keren lagi jadinya, deh! jelasin kenapa si aku bisa sampe di ruangan itu, trs itu siapa yg baru masuk? :))))
BalasHapusTerima kasih sudah berkunjung mba Istiadzah Rohyati :). ya batasan 400 kata, membatasi ruang gerak dalam cerita. saya masih harus terus belajar... mudah-mudahan nanti bisa dikembangkan menjadi sebuah novel fantasi :D
BalasHapussi aku ada disana, karena liontin itu. yang memang hendak memberikan isyarat kepada atharwa agar mempersiapkan diri menghadapi ujian kehidupan yang akan ia tempuh pada saat ia genap berusia 17 tahun. beberapa pekan lagi. kalo di harry potter seperti ber-apparate. yang masuk itu sebenarnya waktu. waktu atharwa selesai di ruangan itu. :D
sip sip keren kerennn
BalasHapus