IBU - Teater KOMA




Cuma Celotehan Saya : Oleh –oleh nonton Teater Koma bertajuk “IBU” 17 November 2013

Diadopsi dari saduran novel karya Bertolt Brecht, seorang dramawan asal jerman. Mungkin pemikiran-pemikirannya dalam melawan ideologi Nazi yang membuatnya terkenal. Tapi saya membaca biografinya sekedar kagum rasanya tidak tetapi entahlah jika saya membaca karyanya, mungkin bisa saja jatuh cinta atau mungkin tambah ilfeel. Hahaha…. Lepas dari siapa Bertolt Brecht, yang membuat penasaran saya melihat pertunjukan ini adalah penampilan abad 17 -nya dan pesan yang ingin disampaikan. Kira-kira ada kaitannya apa tidak dengan situasi politik sekarang ini? Dan ya memang tidak disinggung secara langsung, namun banyak dialog-dialog dan narasi yang cukup menggelitik.

Seorang Ibu, awalnya dalam benak saya pertunjukan ini akan menggambarkan sebuah pengorbanan seorang Ibu terhadap hidup anak-anaknya di masa peperangan. Bagaimana ia berjuang dengan berani seperti nama yang melekat pada dirinya “Brani” mengarungi kehidupan yang keras tanpa seorang pedamping, ia berjuang melawan nasib dan mencari peruntungan melalui usaha kantin kelilingnya itu. Namun, setelah berjalan semakin kesana saya semakin mengerutkan dahi.
Ya, memang bukan Ibu seperti yang saya fikirkan, tepatnya tidak sepenuhnya. Mungkin benar, jika Ibu Berani memang sangat berani mengarungi kehidupan perang selama tiga puluh tahun. Berjuang untuk hidup ketiga anaknya dengan kantin kelilingnya. Namun, ternyata Ibu Brani tidak seberani itu ketika putra bungsunya Keju Swiss terancam hukuman mati karena dicurigai oleh tentara musuh. (Entah mana teman mana lawan). Ibu Brani tidak berani berspekulasi, dia lebih berat kepada kantin kelilingnya itu. Tawaran Ibu Brani sangat rendah dan terlalu lama hingga nyawa Keju Swiss tidak dapat diselamatkan. Pun ketika mayat Keju Swiss diantarkan untuk dimintai keterangan, Ibu Brani tidak mengakui bahwa mayat itu adalah mayat anaknya.

Pilihan yang sulit memang dan ini menjadi gambaran yang sangat jelas bagaimana kehidupan itu begitu pahit. Tidak semua orang kuat menjalani kehidupan perang , kehidupan tanpa adanya belas kasih dan rasa kemanusiaan. Bahkan rasa keibuan yang dimiliki Ibu Brani tidak tampak pada saat itu. Justru rasa keibuan sepertinya lebih nampak pada putri Ibu Brani yang bisu, Katrin. Pada adegan dimana pasangan petani sedang berdoa demi keselamatan masyarakat di kota yang terlelap dan tidak tahu akan adanya bahaya yang datang. Khususnya ketika doa itu diperuntukkan untuk anak-anak disana, katrin langsung berinisiatif memberikan tanda lewat gemuruh gendang yang ia tabuhkan di atap rumah petani tersebut. Ia melakukan perbuatan konyol, namun itulah sebuah pengorbanan, bukan lagi logika yang bermain melainkan perasaan. Perasaan yang dalam, sangat dalam. Begitu dalam perasaannya, dan begitulah jalan kematian menjemputnya.  

Ibu Brani yang akhirnya mendorong sendiri kantin kelilingnya itu mungkin akhirnya menyadari bahwasanya dalam peperangan ini tidak ada yang benar-benar mendapatkan keuntungan. Jiwa judinya seakan mendarah daging sampai sinyal keibuannya agak berkurang. Semua anaknya masuk ke dalam bahaya persis ketika sang Ibu Brani tengah melakukan atau hendak melakukan transaksi. Si sulung Eilif pun tidak dapat bertemu dengan Ibu untuk terakhir kalinya karena Ibu tengah ke kota mencari barang murah yang bisa dipasarkan kelak. Padahal sudah diberitahukan si koki bahwa si sulung sudah lebih dahulu menyusulnya. Tidakkah Ibu menunggu sebentar lagi demi memecah kerinduan itu. Kerinduan antara seorang Ibu dan anaknya. Entahlah… Ibu Brani memang seorang Ibu yang berani. Berani mengambil resiko dan begitu tegar menghadapi resiko terpahitnya, kematian anak-anaknya dan tidak menutup kemungkinan atas kematian dirinya sendiri.

Pertunjukan ini sepertinya agak hati-hati dalam mengangkat masalah atau konflik yang menjadi ujung pangkal terjadinya perang berkepanjangan ini. Meski sengketa politik dan keseimbangan kekuasaan adalah pokok masalah yang ditampilkan, namun tidak dapat dihilangkan konflik agama yang sedang berkecamuk. Pada adegan pergantian bendera matahari hitam ke matahari putih dan pendeta yang mengganti pakaiannya. Kemungkinan konflik agama disini adalah antara protestan dan katolik. Begitupun resimen matahari hitam dan putih adalah refleksi dari perbedaan agama tersebut. Perang panjang selama tiga puluh tahun ini (1618-1648) mungkin mengalami pergeseran konflik. Mungkin konflik agama kemudian tidak menjadi khusus. Maka tidak begitu ditonjolkan.

Saya kurang begitu memahami mengenai sistem lighting dalam teater, namun rasanya permainan lampu di atas panggung mampu memberikan kesan emosional yang lebih dan juga lantunan lagu-lagu yang dinyanyikan merupakan syair yang indah. Saya cukup menikmati pertunjukan ini, rasanya refreshing bulan ini sudah terbayarkan.

Apresiasi sepenuhnya kepada seluruh pemain yang sudah secara total memberikan kemampuan terbaiknya. Kedisiplinan dalam latihan pastinya merupakan modal awal kesuksesan para pemain. Ya, disiplin. Disiplin dalam hal apapun, akan membawa kita selangkah lebih dekat dengan kesuksesan.

S e m a n g a t t t . . .


  

Wilda Hurriya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar