Menantu


Pada acara serah terima anak menantu.

 “Saya titip anak saya ya bu, tolong dimaklumi khususnya soal masak.”

Aku tersipu malu mendengar ucapan Ibuku yang begitu polos.

“Iya bu tidak apa-apa, ini juga Rini baru bisa masak sayur asem.” Ibu mertuaku menunjuk perempuan berambut bondol, menantu pertama di keluarga suamiku ini.

“O begitu ya, Iya bu, habis maklum saja anak zaman sekarang lebih senang dengan komputer dibanding dapur.”

Aku yang duduk disamping Ibu hanya dapat memberikan senyuman termanis. Mudah-mudahan senyumku ini mampu menghipnotis mereka. Disaat itu, terjadi komunikasi antara peri putih dan peri hitam yang ada pada diriku;

“Tidak bisa masak yang penting senyumnya manis.”

“Iya tetapi senyum termanis pun tidak bisa bikin perut kenyang, ayo belajar!”

“Ah tetapi sudah terlambat belajar, sekarang sudah jadi menantu”

“Tidak ada kata terlambat, justru ini bisa jadi awal yang baik”

Aku pun menghela nafas.

Acara pun berlangsung lancar. Ibu RT dan tetangga sebelah pun diundang. Sekalian menunaikan perintah 1x24 jam tamu harap lapor.

Ditengah obrolan santai, Ibu mertuaku mengajakku melihat kamar mandi yang baru dibuat di dalam kamar tidurku.

“Sini lihat Siska, Ini kamar mandinya. Keramik, closet, semua serba hijau, mama yang memilih sendiri, bagus kan?”

“Iya bagus ma.”
Meski hatiku bergemuruh, kamar mandinya "minimalis".

Di pojokan kamar dekat jendela, dibuat pintu menuju teras. Di sebelahnya ada celah ruang sedikit.

Kata mama celah ruangan itu bisa untuk menaruh kompor. Mejanya sudah disiapkan.
Fikiranku langsung terbang ke dunia khayalan, dimana aku sedang memasak telor dadar kesukaan suamiku. Tiba-tiba suamiku datang melalui pintu samping dengan penuh semangat karena lapar. Pintu itu terdorong kencang, menubruk badan kecilku dan tanganku terkena cipratan minyak goreng panas karena kaget.

Aku mengelus tanganku, mataku terpaku pada celah ruang yang sempit itu.

“Kenapa Siska?”

“Eee, Tidak mah.”



 
Esok hari pada minggu pagi,

Gorden biru kamarku terlihat sangat kotor. Aku menurukan gorden tersebut dan merendamnya. Setelah merendam agak lama, aku mencucinya. Tidak ada mesin cuci, Gorden ukuran dua meter itu aku kucek-kucek, sikat-sikat. Setelah selesai, aku menjemurnya.

“Wah bersih ya gordennya. Kamu pinter nyucinya Sis.” Ibu mertuaku memuji.

Aku tersenyum. Tiba-tiba peri putih dan peri hitam yang ada pada diriku kembali bercengkrama:

“Cihuy, pencitraan pertama.”

“Kok pencitraan? Siska memang tidak betah melihat gorden sekotor itu.”

“Ah sudahlah, Ayo cari pencitraan lainnya? Gorden lainnya di rumah ini juga masih banyak yang kotor.”

Siska mengerutkan dahinya, melihat gorden merah ruang tamu yang lebih tragis dari yang di kamar.

“Oh No…”






Masa cutiku sudah selesai. Besok sudah harus bekerja kembali.

“Mas, biasanya kalau dari sini berangkat kerja jam berapa?

“Oh iya, besok harus lebih pagi ya. Jam setengah tujuh harus sudah jalan”

“Macet ya?”

“Iya.”

Aku memasang alarm di handphone  pukul lima pagi. Masih sunyi senyap, suamiku juga masih terlelap. Aku shalat subuh dan berencana tidur kembali. Namun suamiku terbangun dan menggagalkan rencanaku untuk tidur kembali.

“Andriii, Siskaaa, kalian tidak kerja?

Suara mama membangunkanku. Aku terkejut melihat jam sudah menunjukkan pukul tujuh kurang lima menit.

“Wah gawat mas, kita kesiangan.”

Diluar aku mendengar suara Bapak mertuaku berceloteh, “Namanya juga pengantin baru, macetnya di kamar.”



Flashfiction ini diikutsertakan dalam Tantangan Menulis FlashFiction – Tentang Kita Blog Tour :


Wilda Hurriya

1 komentar: