Judul : Pendidikan Anak Ala Jepang
Penulis : Saleha Juliandi , M. Si. Juniar Putri , S.Si.
Editor : Dr. Berry Juliandi, M.Si.
Desain Cover : Jasmine Putri Aliva
Penerbit : Pena Nusantara
Terbit : Oktober 2014
ISBN : 978-602-1277-19-5
Jepang yang dijuluki dengan sebutan negeri matahari terbit ini dimata dunia dikenal sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai kedisiplinan, kebersihan, kesopanan, dan juga budaya masyarakat yang gemar membaca. Ternyata, membentuk karakter masyarakat yang disiplin dan gemar membaca tidak serta merta lahir begitu saja. Semua nilai-nilai positif tersebut ditanam mulai dari kecil, dari anak-anak.
Jepang menganut sistem pendidikan wajib belajar 9 tahun. Dimulai dari usia 6 tahun (kelas 1 SD). Pemerintah juga berperan aktif dalam meningkatkan kualitas pengasuhan dan pendidikan anak usia dini (PAUD). PAUD tebagi menjadi :
1. Youchien atau yang kita sebut Taman Kanak-Kanak (TK). Lembaga ini berada di bawah Kementrian Pendidikan, Budaya, Olahraga, Sains, dan Teknologi.
2. Hoikuen atau Taman Penitipan Anak (TPA) atau lebih popular dengan istilah daycare. Lembaga ini di bawah Kementrian Kesehatan, Buruh, dan Kesejahteraan.
Di Jepang, menjadi guru (sensei) adalah profesi yang bergengsi. Predikat sensei hanya diberikan kepada guru dan dokter. Perbandingan jumlah pelamar dan kebutuhan guru TK adalah 4:1. Artinya, setiap satu posisi guru TK diperebutkan oleh 4 orang. Wah, cukup bergengsi ya.
Menjadi sensei di TK tidak bisa sembarangan. Harus memenuhi kualifikasi yang ditetapkan oleh Departemen Pendidikan. Karena guru di jepang lebih memposisikan diri sebagai pembimbing dan teman (bukan sekedar pengajar) maka selain materi pendidikan, seorang guru juga harus memiliki kemampuan pedagogi dan psikologi.
Begitu juga guru TPA (daycare), seperti halnya guru TK, guru di TPA juga harus memiliki sertifikat sebagai guru pengasuhan. Siap menangani aktivitas bayi dan anak sehari penuh. Para guru bekerja dengan sistem kaizen. Kaizen adalah bagian dari filsafat hidup orang Jepang yakni perbaikan terus menerus.
Seperti halnya guru TK dan TPA, guru SD pun bekerja dengan sistem kaizen. Jam kerja mereka lebih panjang. Kalau perkantoran baru memulai aktifitas pukul 9 pagi, seorang guru SD sudah sampai sekolah pukul 07.30 pagi dan pulang pada pukul 6 atau 7 malam. Bahkan kalau masih harus mengadakan rapat sampai jam 8 atau 9 malam. Dedikasi para guru sangat tinggi baik dari hal waktu, energi, dan pikiran. Wajar jika profesi guru SD merupakan profesi yang cukup bergengsi dan terhormat di Jepang.
Buku ini menerangkan secara detail mengenai jadwal belajar di sekolah dan juga perlengkapan sekolah yang harus disiapkan para siswa. Juga mengenai sistem komunikasi yang diterapkan oleh sekolah dengan para orang tua murid. Anak-anak SD jepang bersekolah dengan berjalan kaki. Selain meningkatkan kebugaran dan kesehatan tubuh, juga bertujuan mengurangi kemacetan, polusi dan kebisingan yang biasa terjadi pada pagi dan sore hari.
Karena sekolah mereka disesuaikan dengan rayon atau jarak terdekat dengan rumah, jadi berjalan kaki tidak menjadi kendala. Masalah keamanan murid bukan hanya menjadi kewajiban orang tua dan polisi saja tetapi juga guru dan masyarakat sekitar pun turut serta membantu dengan menjaga anak-anak yang melintas di sekitar lingkungan mereka. murid SD dibekali fasilitas keamanan seperti emergency alarm, emergency handphone, dan tanda kuning bagi seluruh anak kelas satu.
Jepang tidak mendidikan anak melalui hafalan teori di kelas dan atau banyak mengerjakan soal-soal dari LKS. Semua pelajaran di jepang diajarkan melalui eksperimen, ketertarikan dan pengalaman masing-masing anak. Dan yang menarik, pelajaran musik bukan hanya sebagai pelajaran pelengkap tetapi mendapatkan prioritas sama dengan pelajaran lainnya.
Musik dapat dijadikan alat untuk memanggil atau melakukan instruksi kepada anak-anak. Tidak perlu berteriak-teriak memanggil dan menyuruh mereka untuk melakukan perintah, cukup dengan memainkan musik/lagu yang sudah disepakati sebagai tanda suatu perintah tertentu. Menyenangkan sekali ya?
"Dengan belajar memainkan musik sejak dini, akan membantu meningkatkan konsentrasi anak, membantu pembentukan karakter anak, meningkatkan kecerdasan anak, serta menjaga keseimbangan kerja otak kanan dan kiri anak. Sehingga proses belajar anak pun menjadi mudah" (hal. 91)
Mencintai Buku Hingga Akhir Hayat
Ini adalah salah satu bahasan yang sangat berkesan untuk saya. Mengapa? Cerita penulis tentang fenomena yang hampir tidak pernah saya temukan di Indonesia. Warga jepang mengisi waktu mereka saat mengantri panjang dengan membaca buku. Gleek..., kita? Iya, kita yang notabene itu mayoritas Islam. Dan ajaran agama Islam itu memerintahkan kita untuk membaca. Lalu, mengapa kita tidak lebih gemar membaca dibanding mereka yang notabene tidak beragama. (Bahan renungan1)
TK ataupun TPA belum dikenalkan belajar membaca. Cara menanam kecintaan anak terhadap buku adalah dengan membacakannya, bukan mengajarinya membaca. Dan dengan mewajibkan anak-anak untuk meminjam buku dari perpustakaan sekolah. Tentunya buku-buku untuk TK/TPA adalah jenis buku yang didominasi oleh gambar yang menarik.
Kadang guru mengundang pembaca dari luar seperti orang tua murid atau dari pendongeng profesional. Setelah bercerita, mereka lalu diskusi membahas kisah tersebut. Dan pada waktu liburan pun, orang tua lebih suka mengajak anak-anak ke perpustakaan dibanding belanja ke mall. Buku tidak hanya ada di sekolah saja. Di tempat-tempat menunggu pun banyak ditemui buku-buku anak. Misalnya seperti di klinik anak, Apotek, dll. Begitulah sinergi dari guru, orang tua, dan masyarakat dalam menanam benih cinta terhadap buku kepada anak-anak mereka. Budaya membaca dikenalkan dengan cara menyenangkan dan terus menerus.
Kebersihan
Penulis menceritakan kembali pengalamannya yang pernah melihat seorang siswa SMA Jepang sedang mengelap tumpahan air minum yang tidak sengaja ia tumpahkan ke lantai kereta dengan menggunakan handuk.
Kesadaran masyarakat seperti siswa SMA itu tentunya tumbuh melalui proses. Proses yang terus menerus dan berkesinambungan. Mulai dari sejak kecil dan mulai dari hal-hal kecil. Luar Biasa!
Masih banyak pembahasan dalam buku ini yang berkaitan dengan nilai pendidikan di Jepang. Termasuk tentang kebudayaan yang sangat dijaga kelestariannya. Dan cara penilaian siswa yang berbeda dengan negara kita. Semua anak SD Jepang naik kelas. Pun ada siswa yang memiliki kemampuan akademis dibawah standar, itu akan menjadi tanggung jawab sekolah. Anak tersebut tetap naik kelas, dan guru akan membimbing secara khusus.
Rapor SD Jepang tidak dilaporkan dalam bentuk angka-angka. Tidak ada juga tingkatan ranking atau juara kelas. Semua penilaian ditulis dalam kategori-kategori. Ganbaro (perlu ditingkatkan), Dekita (bagus), dan Yoku dekita (sangat bagus).Anak-anak dilatih untuk maju bersama, sukses bersama, dan bekerja bersama-sama. Tidak dilatih untuk menjadikan kawan menjadi lawan yang harus dikalahkan atau disaingi.
Buku ini sangat bermanfaat dan sangat direkomendasikan sekali untuk pakar pendidikan. Juga para Ibu yang menjadi sekolah pertama bagi anak-anaknya. Menciptakan suasana mendidik yang menyenangkan dengan cara yang sesuai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar